MUKADDIMAH
Islam rahmatan lil’âlamîn telah dipahami dalam konotasi yang bermacam-macam, mulai dari agama yang menekankan kasih sayang, kelemahlembutan, hingga makna yang lebih jauh; karena kasih sayang itu Islam dipahami sebagai bersifat akomodatif terhadap keberagaman (pada posisi yang sama).
Bahkan karena interpretasi yang tidak akurat, rahmatan lil’alamîn telah dipahami sebagai kelembutan dalam komunikasi umat Islam tanpa menyentuh ruang nahi munkar terhadap kenyataan, gerakan, dan prilaku yang tidak mematuhi ajaran Tuhan sebagai pencipta dan pemiliki sifat rahmat itu.
Dengan demikian penegakan/pembumian rahmatan lil’alamîn merupakan bagian integral dari penegakan dan pengamalan ajaran Islam.
MEMAHAMI RAHMAT
Rahmat dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jenis kelembutan yang merangsang dorongan dalam diri seseorang untuk menunjukkan dan menjalankan kebaikan pada orang lain. Rahmat merupakan salah satu asmâ’/sifat Allah, al-Rahmân dan al-Rahîm.
Rahmat adalah sifat Allah yang paling menonjol. Dia selalu mengedepankan sifat ini dari sifat lain dalam memilih, menetapkan, dan memperioritaskan semua perkara.
Bahkan seperti disebut Khomaeni, sifat rahmân dan al-rahîm, Pengasih dan Penyang, menunjukkan sifat kesempurnaan Allah. Sedangkan sifat-sifat lain tunduk pada sifat-sifat itu. Tampaknya itulah yang mendorong al-Râghib al-Isfahâni mengartikan rahmat sebagai keluasan kasih sayang Allah atas segala sesuatu. Dengan demikian, seperti disebut Azad, rahmatullâh menunjukkan bahwa apa saja yang indah atau sempurna dalam kehidupan hanyalah merupakan perwujudan dari rahmat ilahi.
NUSHUSH
Terdapat sejumlah ayat al-Qur’ân yang menjelaskan rahmat sebagai salah satu sifat penting Allah Swt.
Katakanlah, kepunyaana siapakah yang ada di langit dan dibumi. Katakanlah ‘kepuyaan Allah’. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. [QS. 6/al-An’âm: 12].
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [QS. 59/al-Hasyr: 22].
Dalam sebuah hadîs Qudsi Allah menegaskan:
ان رحمتى غلبت غضبى
Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku. [HR. Bukhâri].
MEMAHAMI RAHMAT DARI DUA DIMENSI
Dimensi pertama, kedudukan si pemilik rahmat Allah Swt., berada dalam posisi pencipta (rabb) dan yang disembah (ilâh).
Sangat sulit membayangkannya diterapkan dari posisi yang lebih rendah, bahkan yang sejajar.
Dimensi kedua adalah penerapannya
Rahmat itu diterapkan Allah dalam berbagai bentuk:
(1) Kasih sayang-Nya yang bersifat menyeluruh (universal) dan adil, menyantuni seluruh makhluk-Nya. Meskipun manusia diutamakan tetapi santunan Allah selalu terealisasi bagi seluruh makhluk-Nya.
(2). Sebagai konsekuensi dari sifat rahmat itu maka Allah tidak semena-mena menerapkan hukuman dan azab kepada hamba-Nya yang melakukan kesalahan, melainkan disiapkan media pintu ma’af bagi mereka yang memanfaatkan taubat.
(3). Sifat rahmat itu direalisasikan dengan menjamin kemutlakan berlakunya setiap keputusan, dan pasti sampai kepada objeknya. Tidak ada yang dapat melakukan usaha-usaha inkonstitusional untuk menutupi sagala macam kesalahan dan penyimpangan yang dilakukannya.
Pertama, Posisi Rasulullah Sebagai Rahmat
Posisi Rasulullah sebagai penyandang rahmat berada di atas semua umat manusia dan alam semesta. Beliau adalah Rasulullah dan ‘Penghulu’ seluruh alam semesta, hingga layak menyandang sifat rahmat, sebagai ‘pembumi’ (aplikator) dari sifat Tuhan tersebut.
Kehadiran nabi Muhammad Saw., dan Islam yang dibawanya merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘âlamî).
Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. 21/al-Anbiyâ’: 107].
Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. 34/Sabâ’:28].
Dalam salah satu hadîs, Rasulullah menegaskan:
أنا محمد و أحمد والمقفي و الحاشر و نبي التوبة و نبي الرحمة
Aku Muhammad dan Ahmad (terpuji), yang dihormati, yang menghimpun manusia, nabi (penyeru) taubat dan nabi (penyeru) rahmat (kasih sayang). [HR. Muslim)].
Diduga keras itulah sebabnya dalam aktualisasi atau pembumian rahmat itu Rasulullah memungut ‘serpihan’ yang terdapat pada diri Rahib Bahira dalam berbagai advisnya mengenai nabi Muhammad Saw., dan beliau meminta Abdullah bin ‘Uraiqin, seorang nasrani untuk menjadi kordinator lapangan (Korlab), saat pelaksanaan hijrah Rasulullah bersama para sahabatnya.
Kedua, cakupan rahmat yang dibawa oleh Rasulullah.
Untuk mendaratkan rahmat itu Rasulullah menyusun dan menetapkan ‘konstitusi negara’ yang mengatur lalu lintas relasi kehidupan bermasyarakat (plural) di Madinah.
Yang menarik bahwa piagam itu disebut sebagai Risâlat al-Rasûl, yang secara halus mengisyaratkan bahwa penerapan rahmat ini dipimpin oleh junjungan sekalian alam.
Selanjutnya Muhammad Saw., menerapkan rahmat tersebut dalam menata-laksanaan kehidupan bermasyarakat kota di Madinah dan daerah-daerah lain yang bukan hanya muslim tetapi juga ‘yang ‘akan muslim’, bukan hanya manusia tetapi juga hewan, tumbuhan, dan semua lingkungan.
UMAT ISLAM MENDARATKAN RAHMATAN LIL’ALAMIN
Kaum muslimin adalah pelanjut nilai-nilai risalah Rasulullah dalam berbagai segi kehidupan, dan dengan demikian menjadi pelanjut dari upaya pembumian rahmat tersebut. Dalam penerapannya manusia dibekali Allah posisi strategis dengan tiga bobot.
1. Kaum muslimin sebagai kelompok strategis, umat wasathiyyah:
Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. 34/Sabâ’:28].
Dalam salah satu hadîs, Rasulullah menegaskan:
أنا محمد و أحمد والمقفي و الحاشر و نبي التوبة و نبي الرحمة
Aku Muhammad dan Ahmad (terpuji), yang dihormati, yang menghimpun manusia, nabi (penyeru) taubat dan nabi (penyeru) rahmat (kasih sayang). [HR. Muslim)].
Diduga keras itulah sebabnya dalam aktualisasi atau pembumian rahmat itu Rasulullah memungut ‘serpihan’ yang terdapat pada diri Rahib Bahira dalam berbagai advisnya mengenai nabi Muhammad Saw., dan beliau meminta Abdullah bin ‘Uraiqin, seorang nasrani untuk menjadi kordinator lapangan (Korlab), saat pelaksanaan hijrah Rasulullah bersama para sahabatnya.
Kedua, cakupan rahmat yang dibawa oleh Rasulullah.
Untuk mendaratkan rahmat itu Rasulullah menyusun dan menetapkan ‘konstitusi negara’ yang mengatur lalu lintas relasi kehidupan bermasyarakat (plural) di Madinah. Yang menarik bahwa piagam itu disebut sebagai Risâlat al-Rasûl, yang secara halus mengisyaratkan bahwa penerapan rahmat ini dipimpin oleh junjungan sekalian alam.
Selanjutnya Muhammad Saw., menerapkan rahmat tersebut dalam menata-laksanaan kehidupan bermasyarakat kota di Madinah dan daerah-daerah lain yang bukan hanya muslim tetapi juga ‘yang ‘akan muslim’, bukan hanya manusia tetapi juga hewan, tumbuhan, dan semua lingkungan.
UMAT ISLAM MENDARATKAN RAHMATAN LIL’ALAMIN
Kaum muslimin adalah pelanjut nilai-nilai risalah Rasulullah dalam berbagai segi kehidupan, dan dengan demikian menjadi pelanjut dari upaya pembumian rahmat tersebut. Dalam penerapannya manusia dibekali Allah posisi strategis dengan tiga bobot.
1. Kaum muslimin sebagai kelompok strategis, umat wasathiyyah:
Dan begitulah, Kami telah menjadikan kamu umat strategis (wasathiyyah) agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu. [QS. 2/al-Baqarah: 143].
2. Kaum muslimin diposisikan sebagai umat terbaik (khaira ummah):
Kamu adalah umat yang terabaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. [QS. 3/Ali ‘Imrân: 110].
Hodgson menyebutkan bahwa umat Islam sejatinya memiliki visi memimpin perkembangan dunia. Hal tersebut karena adanya penegasan al-Qur’ân bahwa umat Islam adalah manusia terbaik yang dilahirkan ke tengah-tengah manusia dengan tugas memerintah yang baik dan mencegah yang buruk dan beriman kepada Allah (QS. 3 /Ali ‘Imrân: 110). Dengan posisi tersebut sebenarnya umat Islam diharapkan menjadi pandu bagi pembangunan peradaban dunia atas rahmat tersebut.
1. Dari kelompok strategis itu, ummatan wâhidah:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) Maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. [QS. 2/al-Baqarah: 213].
Dengan landasan tersebut maka kaum muslimin dapat bersifat inklusif dan moderat dalam menerapkan rahmat tersebut pada pembangunan peradaban yang merupakan milik semua umat manusia.
Dengan demikian rahmatan lil’âlamîn yang dianut umat Islam bersifat transvision, melewati tapal batas dan skat-skat budaya, agama, dan kepercayaan yang bersifat sektarian, naik ke ufuk, karena rahmat tersebut merupakan nama dan sifat Allah.
AKSI-AKSI PEMBUMIAN ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN
Pembumian rahmatan lil’âlamîn dapat dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan sebagai tugas isyti’mar manusia (Q. S.11/Hûd:61), sehingga pembangunan harus ditundukkan kepada Tuhan.
1. Pembangunan harus berkeadilan dan tidak hanya menguntungkan bagi sebagian orang atau kelompok.
Beranalogi kepada para sahabat sebagai bintang-bintang (al-nujûm) yang dapat nenerangi seisi alam dan menjadi panduan bagi para nelayan di lautan. Sabda Rasulullah Saw:
مثل اصحابى مثل النجوم من اقتدى بشيئ منها اهتدى
Sahabt-sahabatku ibarat bintang-bintang. Barang siapa menelusuri salah satunya dia mendapat petunjuk jalan. [HR. Al-Dârimi].
مثل امتى مثل المطر لا يدرى اوله خير ام اخره
Umatku bagaikan air hujan, tidak diketahui mana yang lebih baik awalnya atau akhirnya. [Mashâbih al-Sunnah].
2. Dalam sistem pembangunan rahmatan lil’âlamîn citra keberislaman perlu ditonjolkan baik dalam sistem maupun sarana dan fasilitasnya. Jika pembangunan modern, misalnya, dicirikan dengan hight rise building (bangunan-bangunan tinggi) maka dalam pembangunan rahmatan lil’âlamîn di antara gedung-gedung yang tinggi selayaknya terdapat gedung fasilitas keislaman yang tidak kalah menonjol dibanding bangunan lain.
3. Dalam kehidupan politik ‘IsRa’ dapat didaratkan dalam jihad kebangsaan, upaya sungguh-sungguh membumikan politik rahmatan lil’âlamîn.
Poilitik yang didasarkan pada rahmat Tuhan dan aplikasinya yang beretika dan berkeadilan. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan umat Islam mengingat bahwa model kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada rahmat yang dibangun Rasulullah di Madinah, oleh para sosilog terkemuka dapat disebut sebagai konstitusi negara yang sangat ‘modern’.
4. Dalam kehidupan sosial, rahmatana lil’âlamîn dapat didaratkan dalam cita-cita masyarakat agamis (religious society) yang bangunannya didirikan di atas persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ’) baik persaudaraan seagama (ukhuwah islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah). Dengan begitu maka kerukunan dan toleransi sosial menjadi terjaga karena dibingkai oleh rasa seagama, sebangsa, dan sesama manusia.
5. Rahmatan lil’âlamîn juga dapat didaratkan dalam pembangunan budaya dan seni. Sebab sebagai cerminan dari kasih sayang Allah maka rahmatan lil’âlamîn sangat menghargai budaya dan seni karena tradisi kasih sayang dan kelembutan yang ditemukan dalam budaya dan seni dapat membantu mendaratkan kehidupan yang harmonis.
6. Rahmatan lil’âlamîn juga dapat didaratkan dalam kehidupan ekonomi saat sistem dan prilaku ekonomi yang dibangun didasarkan pada nilai-nilai religius.
7. Dalam bidang pendidikan (Pendidikan Rahmatan Lil’âlamîn) dapat diterapkan dalam dua dimensi. Dimensi cakupan pendidikan melalui penerapan pendidikan universal yang menjunjung tinggi keadilan pendidikan, dan dimensi keseimbangan, yang mendorong terciptanya keseimbangan keterpelajaran dan keterdidikan, serta keseimbangan pengasahan otak dan hati nurani.
8. Pembumian ‘IsRa’ dapat dilakukan melalui penciptaan keamanan semesta, yang mendatangkan kepada rakyat keamanan lahir dan batin. Keamanan lahir dilakukan dengan jaminan keamanan diri, harta benda, lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja. Sementara keamanan batin diwujudkan dalam terwujudnya sistem penerapan pembangunan yang bernuansa religius disegala sektor.
9. Islam rahmatan lil’âlamîn (IsRa) juga dapat ditrapkan dengan memberi kemampuan kepada masayarakat agar mereka tidak gamang menghadapi kenyataan globalisasi kehidupan. Hal ini penting karena umat Islam tidak perlu menghindar, bahkan harus lebih banyak berkontribusi pada kehidupan global, karena Islam adalah agama yang berwatak global.
Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA
Profesor pada Universitas Islam Negeri Sumatera Utara-
Ketua Majelis Ulama Indonesia Prov. Sumatera Utara
Bidang Dsakwah dan Pengembangan Masyarakat.
Syahrin_hrp@yahoo.com
KOMEN